Jakarta - Kementerian
Kesehatan (Kemkes) mencatat dari sekian banyak kanker yang menyerang
penduduk Indonesia, kanker payudara dan kanker leher rahim (serviks)
tertingi kasusnya di seluruh Rumah Sakit (RS).
Berdasarkan Sistem Informasi RS (SIRS), jumlah pasien rawat jalan
maupun rawat inap pada kanker payudara terbanyak yaitu 12.014 orang
(28,7%) dan kanker serviks 5.349 orang (12,8%).
Baru disusul kanker leukimia sebanyak 4.342 orang (10,4%, lymphoma
3.486 orang (8,3%) dan kanker paru 3.244 orang (7,8%). Sementara
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi kanker di Indonesia
sendiri sudah mencapai 1,4 per 1000 penduduk, dan merupakan penyebab
kematian nomor tujuh.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemkes, dr Ekowati
Rahajeng, mengungkapkan permasalahan kanker di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan negara berkembang lainnya, yaitu sumber dan prioritas
penanganannya terbatas. Penanganan penyakit kanker di Indonesia
menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan hampir 70% penderita
ditemukan dalam keadaan sudah stadium lanjut.
Di antaranya masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
mengenai penyakit kanker. Ini terkait dengan umumnya orang mempercayai
mitos. Misalnya, bahwa kanker tidak dapat dideteksi, tidak bisa dicegah
dan disembuhkan.
"Pada kenyataannya dengan perkembangan teknologi saat ini kanker bisa
dideteksi dini. Kanker juga bisa dikatakan sebagai penyakit gaya hidup
karena dapat dicegah dengan melakukan gaya hidup sehat dan menjauhkan
faktor risiko terkena kanker," kata Ekowati dalam temu media tentang
Hari Kanker Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 4 Februari, di
Jakarta, Selasa (4/2).
Secara nasional, tema Hari Kanker Sedunia tahun 2014 mengangkat soal
mitos yang menjadi salah satu kendala penanganan kanker di Indonesia.
Padahal, menurut Ekowati , lebih dari 40% dari semua kanker dapat
dicegah. Bahkan beberapa jenis yang paling umum, seperti kanker
payudara, kolerektal, dan leher rahim dapat disembuhkan jika terdeteksi
dini.
Bahkan kanker tidak harus menjadi genetik murni karena bisa dicegah
apabila menghindari faktor risikonya, seperti terpapar asap rokok, diet
rendah serat, paparan sinar ultraviolet, dan berhubungan seksual yang
tidak sehat.
Kendala lainnya, kata Ekowati, yaitu belum ada program deteksi dini
massal yang terorganisir secara maksimal. Saat ini capaian deteksi dini
kanker, khusus leher rahim dan payudara masih jauh dari harapan.
Dari seluruh penduduk berusia 30 sampai 50 tahun yang berisiko tinggi
sebanyak 36,7 juta lebih, yang mendapatkan deteksi dini baru 1,75%
atau 644.951 jiwa. Padahal target pemerintah adalah 80%.
"Kalau tidak bahu membahu susah tercapai. Karena banyak faktor
kendala, meskipun Kemkes sendiri sudah menyediakan deteksi dini baik itu
melalui metode IVA, cryo, dan suspect leher rahim di seluruh puskesmas di daerah," katanya.
Di samping itu, keterbatasan masyarakat untuk memperoleh pengobatan
yang berkualitas karena masalah ekonomi dan transportasi juga menjadi
kendala. Namun, kini masyarakat tidak perlu khawatir kerena adanya
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semua pemeriksaan dan pengobatan kanker di fasilitas kesehatan dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Khusus deteksi dini payudara dan serviks sudah dijamin dalam program
JKN. Bahkan Perpres 69/2013 menjamin bahwa pemeriksaan dan cryo terapi
ditamggung dengan nilai sekitrar Rp150, dan IVA sebesar Rp25.000 per
orang," katanya.
Yang belum dikaver adalah perawatan paliatif untuk pasien yang hidup
dengan kanker. Selain rasa sakit luar biasa sebagai efek dar terapi,
biaya yang dikeluarkan sangat mahal. Namun, Kemkes sedang mengupayakan
agar paliatif masuk dalam JKN.
Selain itu, faktor sosial kultur masyarakat yang tidak menunjang,
seperti percaya pada pengobatan alternatif, tradisional atau dukun juga
menjadi kendala.
Sementara Ketua Umum Perhimpunan Onkolog Indonesia (POI), Drajat
Suardi, mengatakan penyakit kanker di Indonesia masih seperti fenomen
gunung es. Hanya sedikit kasus yang terungkap, tetapi kondisi riilnya
jauh lebih besar dan tidak terjangkau.
jauh lebih besar dan tidak terjangkau.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2005 memprediksikan
kematian akibat kanker sebanyak 7 juta jiwa di dunia. Sedangkan kasus
baru sebanyak 11 juta, dan yang masih hidup dengan kanker sebanyak 25
juta orang.
juta orang.
Tetapi pada tahun 2030, jumlah ini akan meningkat drastis. Kematian
meningkat tiga kali lipat, yaitu 17 juta orang, kasus baru menjadi 27
juta orang, dan yang hidup dengan kanker naik 75 juta orang.
Sementara di
Indonesia, orang yang meninggal karena kanker meningkat 200% dan yang
hidup dengan kanker 300%. Sementara 70% negara di dunia adalah negara
berkembang, termasuk Indonesia.
"Oleh karena itu kita perlu langkah antisipasi sekarang, supaya
prediksi ini tidak terjadi. Salah satu pijakan untuk kita bergerak
adalah registrasi kanker," katanya.
Sayangnya, kata Drajat, data kanker di Indonesia masih sebatas di
rumah sakit, belum pendataan berbasis komunitas atau langsung di
masyarakat. Meskipun butuh waktu panjang, registrasi berbasis komunitas
ini penting mengetahui kasus riil di masyarakat guna prediksi ke depan
dan bentuk penanganannya.
Untuk penanganan kanker di Indonesia, Ekowati menambahkan,
diprioritaskan pada jenis yang tertinggi. Kegiatan penemuan kasus kanker
terutama dilakukan melalui deteksi dini pada stadium awal, sehingga
lebih cepat diobati dan peluang sembuh lebih besar.
Sedangkan skrining ditujukan kepada orang ytang asimptomatik (tidak
bergejala), sehingga dapat diobati sebelum menjadi kanker. Contohnya,
kanker serviks dilakukan skrining dengan metode Inspeksi Visual dengan
Asam Asetat (IVA) untuk menemukan lesi prakanker.
Program ini, lanjut Ekowati, disertai dengan penemuan dan tatalaksana
kanker serta program paliatif kanker guna meningkatkan kualitas hidup,
juga memperpanjang umur harapan hidup penderita stadium lanjut.
Untuk deteksi dini kanker serviks dan payudara dilakukan melalui
pemeriksaan IVA dan Clinical Breast Examination (CBE). Sampai saat ini
sudah terlaksana di 32 provinsi, 207 kabupaten, dan 717 puskesmas.
Kemkes juga menciptakan pelatih yang akan melatih tenaga puskesmas
untuk siap melakukan deteksi dini. Saat ini sebanyak 184 pelatih yang
disiapkan.
"Tahun ini kita akan mempercepat pelatihan, sehingga semua tenaga
puskesmas terlatih dan siap melakukan deteksi dini kanker serviks dan
payudara secara massal. Karena wanita usia 30 sampai 50 tahun setidaknya
dalam 5 tahun sekali perlu melakukan deteksi dini untuk kedua kanker
tersebut," katanya.
Dina Manafe/FEB
Suara Pembaruan
http://www.beritasatu.com/kesehatan/164592-di-indonesia-kasus-kanker-payudara-dan-serviks-tertinggi.html