Minggu, 11 Januari 2015

20% masyarakat menengah atas jatuh miskin karena sakit kritis



Negara Indonesia rawan penyakit kritis dibandingkan negara-negara maju. Berbeda dengan kondisi di negara maju, di Indonesia, 80 persen masyarakatnya jauh dari harapan hidup sehat. Banyak masyarakat kita akhirnya menderita penyakit kritis karena tak kunjung berobat, akibat kekurangan uang. Sementara itu, 20 persen masyarakat menengah ke atas uangnya habis untuk mengobati penyakit berat. Hal ini terjadi karena mereka kurang peduli untuk melakukan pemeriksaan dini.

"Mayoritas penduduk Indonesia cenderung tidak waspada dan menunda pengobatan, sehingga penyakit terlambat diketahui atau sudah telanjur stadium lanjut. Masyarakat seringkali mengabaikan check up atau deteksi dini," ujar pengamat kesehatan Dr Handrawan Nadesul di Jakarta, kemarin.

World Health Organization (WHO) dan World Bank memperkirakan, 12 juta penduduk Indonesia didiagnosa menderita penyakit kritis tahun lalu. Sementara itu, tahun 2008, ada 36,1 juta orang meninggal dunia akibat penyakit kritis.

Berdasarkan banyaknya penderita, penyakit kritis pada urutan pertama di Indonesia adalah jantung, kanker dan tumor, serta hipertensi. Berdasarkan prediksi Kementerian Kesehatan tahun 2011, jumlah penderita kanker akan mendekati penyakit jantung dan stroke, yaitu sekitar 230 ribu. Sementara itu, jumlah pasien kanker, penyakit jantung, dan stroke diproyeksikan mencapai 750 ribu.

Menurut Dr Hendrawan, penanganan penyakit kritis sejak awal sangat penting. Sebab, jika sudah terlambat, biayanya akan semakin tinggi. Check up bisa mengurangi biaya perawatan kesehatan. Pasalnya, semakin dini penyakit diketahui, pengobatan akan semakin mudah dan murah.

Jika sudah stadium lanjut, pengobatan bakal lebih sulit dan biayanya pun mahal. "Meski akhirnya berhasil diobati, penyakit sudah telanjur menyebar. Pasien yang sembuh juga akan cacat, karena salah satu organ tubuhnya telah rusak. Misalnya penyakit stroke, walaupun sudah diobati dan sembuh, pasien tetap saja cacat. Penderita tidak bisa sehat seperti semula, sehingga kualitas hidupnya akan buruk," jelas dia.

Itulah sebabnya, lanjut Handrawan, check up perlu dilakukan. Selain meminimalisasi biaya, deteksi dini bermanfaat untuk menjaga kualitas hidup kita.

"Salah satu kesalahan masyarakat Indonesia adalah masih percaya pada pengobatan alternatif. Ketika merasa nyeri bukannya langsung berobat, malah mampir ke orang pinter dulu. Akibatnya, saat diperiksakan ke dokter, kondisinya sudah ‘terlambat’," imbuhnya.

Handrawan menjelaskan, penduduk Indonesia lebih berisiko terkena penyakit kritis terutama karena enam faktor.

Faktor pertama adalah wawasan kesehatannya yang masih rendah. Kedua, sistem family doctor belum menjadi tradisi. Ketiga, check up belum menjadi kegiatan rutin. Keempat, tidak semua masyarakat mampu berobat setiap sakit. Kelima, meningkatnya pendapatan kalah cepat dengan percepatan kenaikan ongkos berobat. 

Keenam, dampak globalisasi yang terakulturasi, seperti gaya hidup kebarat-baratan, terutama mengonsumsi makanan cepat saji yang mengandung tinggi kalori dan lemak.

 
"Menu harian yang tidak sehat menjadi penyebab utama penyakit kanker. Bukan hanya porsi makan yang harus diperhatikan, tetapi juga kualitas makanan yang dikonsumsi," katanya.

Ia memaparkan, jajanan banyak yang mengunakan bahan-bahan kimia yang mengandung zat adiktif. Contohnya, dalam krupuk dan kripik terdapat obat penggaring. Demikian pula dalam mi ada obat antilengket.

 
“Gula pasir dan bahan penyedap makanan juga mengandung bahan kimia. Orang yang mengonsumsi makanan tersebut dalam menu harian, selama puluhan tahun, tentu beresiko terkena kanker,” tandasnya.

Untuk menghindari kanker, Dr Handrawan menganjurkan mengonsumsi makanan sehat, seperti ubi, singkong dan daunnya, bayam, kangkung, serta buah-buahan. Selain itu, masyarakat juga harus sering berolahraga, misalnya jalan kaki selama 45-50 menit.

"Saat ini, orang-orang yang paling sehat di dunia berasal Okinawa, Jepang. Usia mereka bisa mencapai angka maksimal manusia hidup, yakni 120 tahun. Ini dikarenakan mereka masih mengonsumsi makanan tradisional yang sehat," ujarnya.

Dr Handrawan menjelaskan, penyakit kritis yang beresiko kematian menguras biaya yang tinggi, karena memerlukan terapi yang mahal. Pengobatannya membutuhkan peralatan medis yang canggih.

Biaya itu akan sangat membebani keuangan keluarga. "Oleh karena itu, check up merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan. Bagi yang berpotensi terkena kanker atau orangtua dan keluarganya pernah terkena kanker, sebaiknya check up enam bulan sekali. Sedangkan orang yang tidak berpotensi kanker bisa check up setahun sekali," imbuhnya.

Menjalani gaya hidup sehat dan melakukan check up medis, lanjut Handrawan, merupakan upaya yang efektif untuk meminimalisasi risiko terkena penyakit kritis. Apalagi, kemajuan teknologi saat ini membuat check up medis lebih akurat dalam mendeteksi penyakit kritis sejak dini. (IZN - pdpersi.co.id)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar