Kompas.com - Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menyatakan di tahun 2020 bakal terjadi peningkatan penyakit jantung
sampai 137 persen di negara berkembang, sementara di negara maju
peningkatannya "hanya" 48 persen. Bukan hanya itu WHO juga menyebutkan
tiap tahunnya terjadi 36 juta kematian akibat penyakit kritis seperti
kanker, jantung dan diabetes.
Angka-angka tersebut sungguh
fantastis, apalagi sekitar 80 persennya terjadi di negara miskin dan
berkembang. Menurut dr.Handrawan Nadesul, pengasuh berbagai rubrik
kesehatan, karateristik kesehatan masyarakat di Indonesia pada umumnya
memang berbeda dengan di negara maju.
"Orang Indonesia suka
menunda untuk berobat. Selain itu 80 persen penduduk masih jauh dari
harapan hidup sehat karena mereka tidak mampu berobat. Banyak dari
masyarakat yang akan jatuh miskin ketika sakit," paparnya dalam acara
peluncuran Pruearly Stage Crisis Cover dari Prudential di Jakarta
(25/7).
Selain itu pendidikan kesehatan masyarakat juga masih
rendah. "Kebanyakan orang Indonesia tidak waspada terhadap gejala-gejala
penyakit yang dirasakan. Mereka juga cenderung mengabaikannya sehingga
penyakitnya memburuk," katanya.
Perjalanan penyakit kritis menurut
dr.Handrawan berjalan hingga puluhan tahun, sehingga pada dasarnya
perburukan penyakit bisa dicegah. Sebut saja misalnya serangan jantung
yang tidak terjadi secara kilat namun proses penyumbatannya terjadi
puluhan tahun.
"Syarat untuk mengetahuinya adalah deteksi dini.
Namun masyarakat kita tidak punya kebiasaan melakukan check up. Banyak
yang masih menggagap hal itu memboroskan uang," katanya.
Kebiasaan
"lari" kepada pengobatan alternatif juga dinilai dr.Handrawan sebagai
faktor yang memperberat perburukan penyakit. "Padahal jika kanker atau
penyakit lain segera ditangani dokter harapan sembuhnya masih ada. Namun
karena lebih percaya pada pengobatan alternatif, stadium penyakitnya
sudah keburu tinggi," imbuhnya.
Persoalan lain yang dihadapi
masyarakat adalah masih banyak yang tidak dilindungi asuransi kesehatan.
Akibatnya, jika menderita sakit kritis yang membutuhkan obat-obatan dan
terapi medis berbiaya tinggi, mereka kesulitan biaya.
Untuk
mengatasinya, menurut dr.Handrawan yang harus dilakukan adalah perubahan
gaya hidup menjadi lebih sehat serta melakukan upaya deteksi dini.
"Bila punya faktor risiko genetik, misalnya orangtua, kakek-nenek, atau
saudara menderita penyakit tertentu, lakukan check up berkala minimal
setahun sekali," katanya.
Cara lain untuk menyiapkan diri dari
beban finansial yang tinggi adalah mengikuti asuransi. "Terkena penyakit
kritis bisa berdampak serius pada kestabilan finansial individu," kata
William Kuan, Presiden Direktur Prudential Indonesia, dalam kesempatan
yang sama.
Tekanan finansial yang dihadapi oleh penderita penyakit
kritis, menurut William, bisa dikurangi dengan mengikuti program
asuransi kesehatan. "Dengan dukungan finansial dari lembaga asuransi,
mereka bisa memfokuskan energi mereka pada proses pengobatan dan
pemulihan penyakit," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar