Minggu, 11 Januari 2015

Menyiapkan biaya untuk penyakit kritis

Kompas.com - Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan di tahun 2020 bakal terjadi peningkatan penyakit jantung sampai 137 persen di negara berkembang, sementara di negara maju peningkatannya "hanya" 48 persen. Bukan hanya itu WHO juga menyebutkan tiap tahunnya terjadi 36 juta kematian akibat penyakit kritis seperti kanker, jantung dan diabetes.
 
Angka-angka tersebut sungguh fantastis, apalagi sekitar 80 persennya terjadi di negara miskin dan berkembang. Menurut dr.Handrawan Nadesul, pengasuh berbagai rubrik kesehatan, karateristik kesehatan masyarakat di Indonesia pada umumnya memang berbeda dengan di negara maju.

"Orang Indonesia suka menunda untuk berobat. Selain itu 80 persen penduduk masih jauh dari harapan hidup sehat karena mereka tidak mampu berobat. Banyak dari masyarakat yang akan jatuh miskin ketika sakit," paparnya dalam acara peluncuran Pruearly Stage Crisis Cover dari Prudential di Jakarta (25/7).

Selain itu pendidikan kesehatan masyarakat juga masih rendah. "Kebanyakan orang Indonesia tidak waspada terhadap gejala-gejala penyakit yang dirasakan. Mereka juga cenderung mengabaikannya sehingga penyakitnya memburuk," katanya.

Perjalanan penyakit kritis menurut dr.Handrawan berjalan hingga puluhan tahun, sehingga pada dasarnya perburukan penyakit bisa dicegah. Sebut saja misalnya serangan jantung yang tidak terjadi secara kilat namun proses penyumbatannya terjadi puluhan tahun.

"Syarat untuk mengetahuinya adalah deteksi dini. Namun masyarakat kita tidak punya kebiasaan melakukan check up. Banyak yang masih menggagap hal itu memboroskan uang," katanya.

Kebiasaan "lari" kepada pengobatan alternatif juga dinilai dr.Handrawan sebagai faktor yang memperberat perburukan penyakit. "Padahal jika kanker atau penyakit lain segera ditangani dokter harapan sembuhnya masih ada. Namun karena lebih percaya pada pengobatan alternatif, stadium penyakitnya sudah keburu tinggi," imbuhnya.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat adalah masih banyak yang tidak dilindungi asuransi kesehatan. Akibatnya, jika menderita sakit kritis yang membutuhkan obat-obatan dan terapi medis berbiaya tinggi, mereka kesulitan biaya.

Untuk mengatasinya, menurut dr.Handrawan yang harus dilakukan adalah perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat serta melakukan upaya deteksi dini. "Bila punya faktor risiko genetik, misalnya orangtua, kakek-nenek, atau saudara menderita penyakit tertentu, lakukan check up berkala minimal setahun sekali," katanya.

Cara lain untuk menyiapkan diri dari beban finansial yang tinggi adalah mengikuti asuransi. "Terkena penyakit kritis bisa berdampak serius pada kestabilan finansial individu," kata William Kuan, Presiden Direktur Prudential Indonesia, dalam kesempatan yang sama.

Tekanan finansial yang dihadapi oleh penderita penyakit kritis, menurut William, bisa dikurangi dengan mengikuti program asuransi kesehatan. "Dengan dukungan finansial dari lembaga asuransi, mereka bisa memfokuskan energi mereka pada proses pengobatan dan pemulihan penyakit," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar