Sabtu, 10 Januari 2015

Proteksi keluarga sejak dini dengan asuransi kesehatan

Pentingkah asuransi kesehatan bagi kita? Berdasarkan data Bapepam – LK (2010), Hanya 17,5 persen orang Indonesia di kota-kota besar yang sudah memiliki asuransi jiwa. Ironisnya lagi, hasil survei Mark Plus (2011) menyebutkan bahwa 3 dari 5 orang Indonesia tidak punya persiapan jika menghadapi risiko kesehatan atau kematian.

Bagi mereka yang memiliki asuransi, menurut Mark Plus,  ternyata dana cadangan yang tersedia untuk melindungi keluarga dari musibah di masa depan rata-rata sekitar Rp 25 juta. Cukupkah dana sebesar itu untuk proteksi masa depan kita dan anggota keluarga?

Padahal, tanpa kita sadari biaya pengobatan selalu naik tiap tahun. Berdasarkan survei Global Medical Trends Survey Report dari Tower Watson tahun 2012, biaya kesehatan di Indonesia tahun lalu naik 14% dibandingkan tahun 2011. Penyebabnya ada tiga faktor. 

Pertama, sebesar 52% dikarenakan biaya teknologi medis terbaru lebih tinggi. Kedua,sebesar  50% pengobatan yang diberikan kepada pasien terlalu berlebihan. 
Ketiga, 31% sarana kesehatan untuk memperoleh keuntungan lebih banyak. 

Pada periode yang sama, rata-rata kenaikan pendapatan orang Indonesia hanya 1,2% per tahun berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk 2011-2012.

Sementara itu, penyakit selalu datang kapan saja, berapapun usia, jabatan maupun profesi Anda. Tidak peduli penyakit ringan maupun kritis, seperti jantung, kanker, diabetes atau stroke siap menyerang. Dan tahukah Anda bahwa 53% kematian di Indonesia disebabkan  oleh sakit  jantung.

Saat ini mayoritas orang Indonesia, khususnya  usia muda, cenderung enggan membeli asuransi kesehatan. Alasannya, tubuh masih sehat, jarang sakit kronis dan produktif. Apalagi, perusahaan tempat kita bekerja menyediakan tunjangan kesehatan. Akibatnya,  rata-rata orang berpikir 2-3 kali untuk membeli asuransi kesehatan.

Pentingnya proteksi setidaknya tergambar dari sejumlah fakta yang mengemuka di masyarakat akhir-akhir ini. Faktanya 86% penghasilan ekonomi keluarga digunakan sebagai sumber dana pengeluaran biaya kesehatan (Kompas); 80% keluarga mengalami masalah ekonomi ketika anggota keluarganya menderita; penyakit kanker (Kompas); 70% orang Indonesia membayar sendiri kesehatan mereka (IMF); 

1,2 juta orang Indonesia mencari pengobatan ke luar negeri setiap tahunnya dan Rp 1,2 triliun uang yang dihabiskan untuk pengobatan ke luar negeri setiap tahunnya.

“Sehat itu mahal.” Begitulah kalimat yang jamak diungkapkan orang untuk mendorong hidup sehat. Ungkapan itu mengingatkan bahwa menjaga kesehatan itu penting sekali, sebab jika sampai terjatuh sakit, maka biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal. Apalagi jika yang menderita sakit dalam keluarga adalah tulang punggung atau pencari nafkah utama. Bisa dibayangkan betapa mengkhawatirkan.


tren positif atas perkembangan kesehatan orang-orang di seluruh dunia. Pertama, secara umum orang-orang sekarang memiiki masa hidup lebih lama. Kedua, dunia pengobatan semakin canggih,  sehingga kian banyak orang yang dapat diselamatkan dari penyakit-penyakit berbahaya atau mematikan.

Namun, tidak dapat dipungkiri makin lama biaya pengobatan atau rumah sakit makin melambung karena teknologi dan fasilitasnya makin canggih. “Untuk itu, dengan berkembangnya usia rata-rata hidup pasti problem kesehatan jadi utama. Dan masalah kesehatan tak bisa lepas dari problem keuangan,” tegas Sukono Djojoatmodjo, Dokter Spesialis Saraf RS Premier Jatinegara, menambahkan.

Mengutip hasil survei Global Medical Trends Report dari Towers Watson di 2012, rata-rata kenaikan biaya pengobatan di Indonesia sepanjang tahun 2009-2011 naik dari 10,7% menjadi 13,55% per tahunnya. Padahal, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik untuk tahun 2011-2012, kenaikan pendapatan masyarakat Indonesia hanya 1,2% tiap tahun. 

Bisa ditebak,  ada kesenjangan yang lebar antara kebutuhan kesehatan dan ketersediaan dana. Alhasil, masyarakat perlu mengelola keuangannya dengan baik supaya bisa menopang biaya kesehatan yang kian tinggi.

Berdasarkan survei, sebanyak 70 persen penduduk Indonesia membiayai sendiri biaya dokter atau rumah sakit.” Artinya, kesadaran masyarakat Indonesia untuk mempunyai asuransi kesehatan masih rendah. Padahal, ia menegaskan, asuransi adalah sebuah solusi dari kondisi yang tak berimbang tersebut.

Bagaimana memilih produk asuransi kesehatan yang ideal? Tips memiliki asuransi kesehatan yang tepat ada tiga. 
Pertama, periksa anggaran yang Anda miliki. 
Kedua, pilihlah perlindungan yang memberikan ketenangan dalam setiap tahap kehidupan Anda. 
Ketiga, miliki asuransi yang sesuai anggaran Anda

perusahaan asuransi ini pun terus berinovasi menelurkan produk-produk terbaik. “Fokus kami pada nasabah menuntut kami untuk terus mencari cara dalam memberikan solusi keuangan yang tepat, dan peluncuran Sun MED mencerminkan usaha kami yang berkelanjutan untuk senantiasa memenuhi kebutuhan nasabah

adalah sebuah asuransi tambahan yang menawarkan manfaat lebih untuk biaya rawat inap dan operasi. Produk ini ditujukan untuk nasabah dengan usia pertanggungan mulai dari 15 hari hingga 88 tahun. “Kami satu-satunya perusahaan asuransi yang meng-cover nasabah hingga usia 88 tahun,” ungkap Elin.
Keunggulan lain Sun MED adalah memberikan perlindungan manfaat kesehatan yang komprehensif. Maksudnya, asuransi tambahan ini turut menanggung biaya perawatan setelah nasabah melakukan rawat inap, misalnya biaya fisioterapi penderita stroke.


Nilai pertanggungan kurang mencukupi

Dinda  (37 tahun), wanita single yang bekerja di sebuah perusahaan Swasta , memang telah mengantongi polis asuransi kesehatan dari kantor tempatnya bekerja. Tapi, masalahnya apakah nilai pertanggungan asuransinya atau proteksi sudah mencukupi? Dinda  hanya menggelengkan kepala saat ditanya hal itu.

pengalaman pahit soal proteksi asuransi yang tidak memadai. Diceritakannya, beberapa waktu lalu dia harus menjalani operasi tumor payudara, bahkan dirujuk ke rumah sakit di Singapura. Celakanya, biayanya pun membengkak. “Pengobatan saya di luar negeri menghabiskan dana puluhan juta, sementara nilai proteksi asuransi dari kantor cuma makimal Rp 10 juta,” kenangnya pilu.
Nah, pelajaran dari musibah itu, 

dirinya harus memproteksi diri dengan nilai pertanggungan yang memadai. Itulah sebabnya, sejak saat itu dia membeli lagi polis asuransi kesehatan yang dibayar secara pribadi. “Asyiknya produk asuransi saya itu juga bermuatan investasi. Namanya unit link, benefit-nya ganda: proteksi sekaligus investasi, 

Bayar preminya sekitar Rp 300 ribu per bulan,” dia menuturkan. Sekarang, Fitri sudah berkeluarga dan Rencananya, dia dan suami akan menambah polis asuransi jiwa dan kesehatan bila sudah memiliki momongan.



Kisah yang dialami dinda sering kita jumpai di kalangan masyarakat Indonesia. Ini masalah klasik. Banyak masyarakat yang tidak memiliki asuransi. Kalau pun sudah punya asuransi, faktanya proteksinya tidak mencukupi.

Ironisnya, ketika musibah itu datang, aktivitas penderita atau pencari nafkah utama terancam terganggu karena harus menjalani pengobatan yang membutuhkan biaya tak terduga. Akibatnya, orang-orang tercinta kena dampaknya. Di sisi lain, biaya pengobatan terus membengkak. Bahkan, di Indonesia dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan 10-14% (Global Medical Trends Survey Report tahun 2011 dari Towers Watson).

Tidak bisa dipungkiri penetrasi asuransi jiwa kita masih rendah, karena mayoritas masyarakat belum paham manfaatnya. Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Hendrisman Rahim, mengatakan, kecilnya penetrasi asuransi jiwa itu karena masyarakat masih belum yakin bahwa masa depannya akan terjamin dengan masuknya mereka ke asuransi. Menurutnya, Indonesia berpenduduk ke-4 terbesar di dunia (238 juta jiwa), tapi penetrasi asuransinya masih di bawah 5%.

Betul, penetrasi asuransi jiwa di Indonesia masih rendah, sekitar 1-2% dari total populasi yang insurable, yaitu sekitar 29-30 juta orang. Sedangkan pertumbuhan industri asuransi secara keseluruhan tahun 2012 sekitar 19-25%.
Pepatah bilang ada sebab, ada musabab. Begitu halnya minimnya peserta asuransi. Mengapa masyarakat enggan berasuransi? Banyak sebab, pakar asuransi pun angkat bicara. 

Menurut Profesor Hasbullah Thabrany, Guru Besar Universitas Indonesia, rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia disebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan sistem jaminan sosial yang tidak diwajibkan. Persepsi masyarakat Indonesia masih menganggap risiko itu di tangan Tuhan. Mayoritas masih berpikiran jangka pendek dan belum peduli resiko.



Pentingnya asuransi

Hidup adalah risiko. Sejak kita dilahirkan di dunia hingga ajal datang menjemput, hidup kita selalu dibayangi risiko. Lihat saja mulai dari kita bangun tidur dengan melakukan berbagai aktivitas di rumah, sekolah, kantor, mal, atau berbagai tempat lain tidak luput dari ancaman risiko. Bahkan, saat kita menjelang tidur pun tidak bisa menghindar dari risiko

Risikonya apa saja? Mulai dari risiko gangguan kesehatan, kehilangan nyawa, kecelakaan, kehilangan harta benda, kebakaran, kebanjiran hingga bencana alam. Risiko tersebut bisa menyerang diri kita sendiri, anggota keluarga, kelompok atau perusahaan. Ironisnya, semua risiko itu datang secara tiba-tiba.

Nah, untuk mengalihkan risiko-risiko itu dibutuhkan perlindungan atau proteksi. Bagaimana caranya? Kita cukup membeli asuransi sejak dini agar mendapatkan proteksi yang maksimal, misalnya asuransi jiwa dan asuransi kesehatan.

Asuransi jiwa adalah proteksi yang menanggung jiwa kita. Banyak manfaat asuransi jiwa, di antaranya: meminimalkan risiko yang tak diduga, keluarga lebih terjamin jika terjadi sesuatu pada kepala keluarga karena ada dana cadangan untuk membantu. Selain itu, banyak fasilitas memudahkan bisa didapatkan. 

Asuransi jiwa kini banyak digabung dengan berbagai perencanaan lain dan investasi yang bisa membantu saat-saat sulit di masa depan.
Manfaat lain?  Menenteramkan pikiran. Bagi yang menjadi kepala keluarga, adanya asuransi jiwa bisa membuat pikiran lebih tenteram karena akan ada dana cadangan bila terjadi sesuatu kelak. Dengan begitu, kerja bisa lebih tenang dan hasil pun lebih maksimal.

Mengapa masyarakat kita belum melek asuransi? Sebabnya, orang Indonesia masih menganggap asuransi sebagai barang mewah. Asuransi dinilai hanya dapat diraih seiring dengan peningkatan penghasilan. Padahal, biaya pengobatan di Indonesia telah naik 10-14% selama 3 tahun terakhir. Biaya tersebut akan terus meningkat dalam 5 tahun ke depan. Nah, melalui asuransi jiwa, masalah atau kendala itu bisa ditekan, bahkan diatasi tuntas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar